ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN YANG MENGALAMI PENURUNAN KESADARAN
A. PENGERTIAN
Kesadaran adalah pengetahuan penuh
atas diri, lokasi dan waktu. ( Corwin, 2001 )
Penurunan
kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga /
tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal
terhadap stimulus.
Kesadaran secara sederhana dapat
dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal / mengetahui tentang
dirinya maupun lingkungannya. ( Padmosantjojo, 2000 )
Dalam
menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu :
1. Kompos
mentis
Kompos
mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indra dan
bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun
dalam.
2. Somnelen
/ drowsiness / clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk,
masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walau
sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun.
3. Stupor
/ Sopor
Mata
tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara
satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
4. Soporokoma
/ Semikoma
Mata
tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang
tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
5. Koma
Dengan
rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata,
bicara maupun reaksi motorik. ( Harsono , 1996 )
B. ETIOLOGI
Untuk memudahkan mengingat dan
menelusuri kemungkinan – kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan
istilah “ SEMENITE “ yaitu :
1. S :
Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung
2. E :
Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya
infeksi sistemik / sepsis yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara
bersamaan.
3. M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia,
hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
4. E :
Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang
berlebihan.
5. N :
Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun
metastasis
6. I :
Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat
maupun bahan kimia dapat menyebabkan penurunan kesadaran
7. T :
Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio,
kontusio, perdarahan epidural, perdarahan subdural, dapat pula trauma abdomen
dan dada.
8. E :
Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall
atau pada status epileptikus dapat menyebabkan penurunan kesadaran.( Harsono ,
1996 )
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik yang terkait dengan
penurunan kesadaran adalah :
1.
Penurunan
kesadaran secara kwalitatif
2.
GCS
kurang dari 13
3.
Sakit
kepala hebat
4.
Muntah
proyektil
5. Papil edema
6. Asimetris pupil
7. Reaksi pupil terhadap cahaya
melambat atau negatif
8. Demam
9. Gelisah
10. Kejang
11. Retensi lendir / sputum di
tenggorokan
12. Retensi atau inkontinensia urin
13. Hipertensi atau hipotensi
14. Takikardi atau bradikardi
15. Takipnu atau dispnea
16. Edema lokal atau anasarka
17. Sianosis, pucat dan sebagainya
D. PATHWAYS ( terlampir )
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan untuk menentukan penyebab penurunan kesadaran yaitu :
1.
Laboratorium
darah
Meliputi
tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea darah ( BUN ),
osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol,
obat-obatan dan analisa gas darah ( BGA ).
2. CT Scan
Pemeriksaan
ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
3. PET ( Positron Emission Tomography )
Untuk
meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak
4. SPECT ( Single Photon Emission
Computed Tomography )
Untuk
mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke.
5. MRI
Untuk
menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.
6. Angiografi serebral
Untuk
mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan malformasi arteriovena.
7. Ekoensefalography
Untuk
mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang disebabkan
hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang luas dan
neoplasma.
8. EEG ( elektroensefalography )
Untuk
menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses, jaringan parut
otak, infeksi otak
9. EMG ( Elektromiography )
Untuk
membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat penyakit lain.
F. PENGKAJIAN PRIMER
1.
Airway
a. Apakah pasien
berbicara dan bernafas secara bebas
b. Terjadi penurunan
kesadaran
c. Suara nafas
abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
d. Penggunaan otot-otot
bantu pernafasan
e. Gelisah
f. Sianosis
g. Kejang
h. Retensi lendir / sputum di
tenggorokan
i. Suara serak
j. Batuk
2.
Breathing
a. Adakah suara nafas
abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
b. Sianosis
c. Takipnu
d. Dispnea
e. Hipoksia
f. Panjang pendeknya
inspirasi ekspirasi
3.
Circulation
a. Hipotensi / hipertensi
b. Takipnu
c. Hipotermi
d. Pucat
e. Ekstremitas dingin
f. Penurunan capillary refill
g. Produksi urin menurun
h. Nyeri
i. Pembesaran
kelenjar getah bening
G. PENGKAJIAN SEKUNDER
1.
Riwayat
penyakit sebelumnya
Apakah klien pernah menderita :
a. Penyakit stroke
b. Infeksi otak
c. DM
d. Diare dan muntah yang
berlebihan
e. Tumor otak
f. Intoksiaksi
insektisida
g. Trauma kepala
h. Epilepsi dll.
2.
Pemeriksaan
fisik
a. Aktivitas
dan istirahat
Data Subyektif:
kesulitan dalam beraktivitas
kelemahan
kehilangan sensasi atau paralysis.
mudah lelah
kesulitan istirahat
nyeri atau kejang otot
Data obyektif:
Perubahan tingkat kesadaran
Perubahan tonus otot ( flasid atau spastic), paraliysis (
hemiplegia ) , kelemahan umum.
gangguan penglihatan
b. Sirkulasi
Data Subyektif:
Riwayat penyakit stroke
Riwayat penyakit jantung
Penyakit
katup jantung, disritmia, gagal jantung ,
endokarditis bacterial.
Polisitemia.
Data obyektif:
Hipertensi arterial
Disritmia
Perubahan EKG
Pulsasi : kemungkinan bervariasi
Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
c. Eliminasi
Data Subyektif:
Inkontinensia urin / alvi
Anuria
Data obyektif
Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh )
Tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
d. Makan/
minum
Data Subyektif:
Nafsu makan hilang
Nausea
Vomitus menandakan adanya PTIK
Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan
Disfagia
Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
Obesitas (
faktor resiko )
e. Sensori
neural
Data Subyektif:
Syncope
Nyeri
kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
Kelemahan
Kesemutan/kebas
Penglihatan berkurang
Sentuhan : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada muka
Gangguan rasa pengecapan
Gangguan penciuman
Data obyektif:
Status mental
Penurunan kesadaran
Gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis, menyerang)
Gangguan fungsi kognitif
Ekstremitas : kelemahan / paraliysis genggaman tangan tidak imbang,
berkurangnya reflek tendon dalam
Wajah: paralisis / parese
Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/
kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global
/ kombinasi dari keduanya. )
Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli taktil
Kehilangan kemampuan mendengar
Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya positif / negatif,
ukuran pupil isokor / anisokor, diameter pupil
f. Nyeri
/ kenyamanan
Data Subyektif:
Sakit
kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
Tingkah laku yang tidak stabil
Gelisah
Ketegangan otot
g. Respirasi
Data
Subyektif : perokok ( faktor resiko )
h. Keamanan
Data
obyektif:
Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
Perubahan persepsi terhadap tubuh
Kesulitan untuk melihat objek
Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan
Berkurang kesadaran diri
i. Interaksi
sosial
Data
obyektif:
Problem berbicara
Ketidakmampuan berkomunikasi
3.
Menilai
GCS
Ada 3 hal yang dinilai dalam
penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan Skala Coma Glasgow :
Respon motorik
Respon bicara
Pembukaan mata
Ketiga hal di atas masing-masing
diberi angka dan dijumlahkan.
Penilaian pada Glasgow Coma Scale
Respon motorik
Nillai 6 :
Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat tangan,
menunjukkan jumlah jari-jari dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa,
melepaskan gangguan.
Nilai 5:
Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang
diberikan seperti tekanan pada sternum, cubitan pada M. Trapezius
Nilai 4 :
Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi
tidak mampu menunjuk lokasi atau tempat rangsang dengan tangannya.
Nilai 3 :
fleksi abnormal .
Bahu
aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi pergelangan tangan dan tinju
mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decorticate rigidity )
Nilai 2 :
ekstensi abnormal.
Bahu
aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan dan
tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate rigidity )
Nilai
1 : Sama sekali tidak ada respon
Catatan
:
- Rangsang
nyeri yang diberikan harus kuat
- Tidak
ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan selalu negatif
Respon
verbal atau bicara
Respon
verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun). Pemeriksaan ini tidak
berlaku bila pasien :
- Dispasia
atau apasia
- Mengalami
trauma mulut
- Dipasang
intubasi trakhea (ETT)
Nilai 5 :
pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara
. orientasi waktu, tempat , orang, siapa dirinya ,
berada dimana, tanggal hari.
Nilai 4
: pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh
Nilai 3 :
bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi
tidak menyambung dengan apa yang sedang dibicarakan
Nilai 2 :
bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya
(“ngrenyem”), suara-suara tidak dapat dikenali makna katanya
Nilai 1 :
tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri
Respon
membukanya mata :
Perikasalah
rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau kedua matanya
Catatan:
Mata
tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata.
Nilai 4 :
Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh
Nilai 3 :
Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau
diperintahkan membuka mata
Nilai 2 :
Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri
Nilai 1 :
Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri
4.
Menilai
reflek-reflek patologis :
a. Reflek Babinsky
Apabila kita menggores bagian
lateral telapak kaki dengan suatu benda yang runcing maka timbullah pergerakan
reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar
b. Reflek Kremaster
:
Dilakukan dengan cara menggoreskan
kulit dengan benda halus pada bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal
adalah terjadinya kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat tertariknya
atau mengerutnya testis. Menurunnya atau menghilangnya reflek tersebut berarti
adanya ganguan traktus corticulspinal
5. Uji syaraf kranial :
NI.N.
Olfaktorius – penghiduan diperiksa dengan bau bauhan
seperti tembakau, wangi-wangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya dengan
mata tertutup
N.II.
N. Opticus
Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata . digunakan optotipe
snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien . fisus ditentukan dengan
kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada
N.III/
Okulomotoris.
N.IV/TROKLERIS
, N.VI/ABDUSEN
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala arah ,
diameter pupil , reflek cahaya dan reflek akomodasi
N.V.
Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik,
Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang
bawah serta goresan kapas dan mata tertutup
Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus
muskulusmasketer saat diperintahkan untuk gerak menggigit
N.VII/
Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat alis, mengerutkan
dahi, mencucurkan bibir , tersentum , meringis (memperlihatkan gigi depan
)bersiul , menggembungkan pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan pada
permukaan lidah yang dijulurkan (gula , garam , asam)
N.VIII/
Vestibulo - acusticus
Fungsi
pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber , Schwabach dengan garpu tala.
N.IX/
Glosofaringeus,
N.X/vagus
: diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi dan kemampuan menelan pasien
N.XI
/ Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu
kiri dan kanan ( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala
N.XII/
Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada
posisi lurus , gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah
dalam
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN
INTERVENSI
1. Gangguan perfusi jaringan
berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis
jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema
Tujuan : gangguan perfusi jaringan
berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil :
- Tidak
ada tanda – tanda peningkatan TIK
- Tanda
– tanda vital dalam batas normal
- Tidak
adanya penurunan kesadaran
Intervensi :
Mandiri :
- Tentukan
faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat menyebabkan
penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK
- Catat
status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart
-
Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
- Pantau
tekanan darah
- Evaluasi
: pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan
penglihatan kabur
- Pantau
suhu lingkungan
- Pantau
intake, output, turgor
- Beritahu
klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah
- Perhatikan
adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai
- Tinggikan
kepala 15-45 derajat
Kolaborasi :
-
Berikan oksigen sesuai indikasi
- Berikan
obat sesuai indikasi
2. Ketidakefektifan
bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas oleh sekret
Tujuan : bersihan jalan nafas
efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam.
Kriteria
hasil:
-
Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
- Ekspansi
dada simetris
- Bunyi
napas bersih saat auskultasi
- Tidak
terdapat tanda distress pernapasan
- GDA
dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri :
- Kaji
dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
- Posisikan
tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan pengeluaran
sekresi yang optimal
- Penghisapan
sekresi
- Auskultasi
dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
Kolaborasi
:
- Berikan
oksigenasi sesuai advis
- Pantau
BGA dan Hb sesuai indikasi
3. Pola nafas tak
efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan :
Pola
nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
Kriteria hasil:
- RR
16-24 x permenit
- Ekspansi
dada normal
- Sesak
nafas hilang / berkurang
- Tidak
suara nafas abnormal
Intervensi :
Mandiri :
- Kaji
frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
- Auskultasi
bunyi nafas.
- Pantau
penurunan bunyi nafas.
- Berikan
posisi yang nyaman : semi fowler
- Berikan
instruksi untuk latihan nafas dalam
Catat
kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
Kolaborasi :
- Berikan
oksigenasi sesuai advis
- Berikan
obat sesuai indikasi
4.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi
sekunder terhadap hipoventilasi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan selaama 1 jam, pasien dapat
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
-Bunyi
paru bersih
-Warna
kulit normal
-Gas-gas darah
dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi :
Mandiri :
-Kaji
terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
-Kaji TD,
nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan
tinmgkat kesadaran pada dokter.
-Pantau
dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2
atau penurunan dalam PaO2
-Bantu
dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau
PEEP.
-Auskultasi
dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
-Tinjau
kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau
penyimpangan
-Evaluasi
AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
-Pantau
irama jantung
Kolaboraasi :
-Berikan
cairan parenteral sesuai pesanan
-Berikan
obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Carolyn M. Hudak. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi
VII. Volume II. Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC ; 1997
2. Susan
Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ; 1998
3. Lynda
Juall Carpenito. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ;
2001
4.
Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process
approach. Volume 2. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran;
1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)
5. Smeltzer,
S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical – surgical
nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta:
EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
6. Corwin,
E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta:
EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
7. Price,
S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease
processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC;
1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)
8. Doengoes,
M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for
planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M. Jakarta:
EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993)
9. Harsono,
Buku Ajar Neurologi Klinis, Yokyakarta, Gajah Mada University Press,
1996 )
10. Padmosantjojo,
Keperawatan Bedah Saraf, Jakarta, Bagian Bedah Saraf FKUI, 2000
11. Markum,
Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis, Jakarta, Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2000
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN DENGAN NYERI
DADA
A. PENGERTIAN
Nyeri dada adalah perasaan nyeri /
tidak enak yang mengganggu daerah dada dan seringkali merupakan rasa nyeri yang
diproyeksikan pada dinding dada (referred pain)
Nyeri Coroner adalah rasa sakit
akibat terjadinya iskemik miokard karena suplai aliran darah koroner yang pada
suatu saat tidak mencukupi untuk kebutuhan metabolisme miokard.
Nyeri dada akibat penyakit paru
misalnya radang pleura (pleuritis) karena lapisan paru saja yang bisa merupakan
sumber rasa sakit, sedang pleura viseralis dan parenkim paru tidak menimbulkan
rasa sakit (Himawan, 1996)
B. ETIOLOGI
Nyeri Dada:
a.
Cardial
-
Koroner
-
Non Koroner
b. Non Cardial
-
Pleural
-
Gastrointestinal
-
Neural
-
Psikogenik (Abdurrahman N, 1999)
C. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala yang biasa
menyertai nyeri dada adalah :
-
Nyeri ulu hati
-
Sakit kepala
-
Nyeri yang diproyeksikan ke lengan,
leher, punggung
-
Diaforesis / keringat dingin
-
Sesak nafas
-
Takikardi
-
Kulit pucat
-
Sulit tidur (insomnia)
-
Mual, Muntah, Anoreksia
-
Cemas, gelisah, fokus pada diri
sendiri
-
Kelemahan
-
Wajah tegang, m erintih, menangis
-
Perubahan kesadaran
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
EKG 12 lead selama episode nyeri
-
Takhikardi / disritmia
-
Rekam EKG lengkap : T inverted, ST
elevasi / depresi, Q Patologis
b. Laboratorium
-
Kadar enzim jantung : CK, CKMB, LDH
-
Fungsi hati : SGOT, SGPT
-
Fungsi Ginjal : Ureum, Creatinin
-
Profil Lipid : LDL, HDL
c.
Foto Thorax
d. Echocardiografi
e.
Kateterisasi jantung
E. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
a.
Airway
-
Bagaimana kepatenan jalan nafas
-
Apakah ada sumbatan / penumpukan
sekret di jalan nafas?
-
Bagaimana bunyi nafasnya, apakah ada
bunyi nafas tambahan?
b. Breathing
-
Bagaimana pola nafasnya ?
Frekuensinya? Kedalaman dan iramanya?
-
Aapakah menggunakan otot bantu
pernafasan?
-
Apakah ada bunyi nafas tambahan?
c.
Circulation
-
Bagaimana dengan nadi perifer dan
nadi karotis? Kualitas (isi dan tegangan)
-
Bagaimana Capillary refillnya,
apakah ada akral dingin, sianosis atau oliguri?
-
Apakah ada penurunan kesadaran?
-
Bagaimana tanda-tanda vitalnya ? T,
S, N, RR, HR?
2. Pengkajian Sekunder
Hal-hal penting yang perlu dikaji
lebih jauh pada nyeri dada (koroner) :
a.
Lokasi nyeri
Dimana tempat mulainya,
penjalarannya (nyeri dada koroner : mulai dari sternal menjalar ke leher, dagu
atau bahu sampai lengan kiri bagian ulna)
b. Sifat nyeri
Perasaan penuh, rasa berat seperti
kejang, meremas, menusuk, mencekik/rasa terbakar, dll.
c.
Ciri rasa nyeri
Derajat nyeri, lamanya, berapa kali
timbul dalam jangka waktu tertentu.
d. Kronologis nyeri
Awal timbul nyeri serta
perkembangannya secara berurutan
e.
Keadaan pada waktu serangan
Apakah timbul pada saat-saat /
kondisi tertentu
f.
Faktor yang memperkuat / meringankan
rasa nyeri misalnya sikap/posisi tubuh, pergerakan, tekanan, dll.
g. Gejala lain yang mungkin ada atau
tidaknya hubungan dengan nyeri dada.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan kenyamanan nyeri (nyeri
akut) b.d iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri, inflamasi
jaringan
2. Perubahan perfusi jaringan (otot
jantung) b.d penurunan aliran darah
3. Intoleransi aktivitas b.d
ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan metabolisme jaringan
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
Prinsip-prinsip Tindakan :
1. Tirah baring (bedrest) dengan posisi
fowler / semi fowler
2. Melakukan EKG 12 lead kalau perlu 24
lead
3. Mengobservasi tanda-tanda vital
4. Kolaborasi pemberian O2 dan pemberian
obat-obat analgesik, penenang, nitrogliserin, Calcium antagonis dan observasi
efek samping obat.
5. Memasang infus dan memberi
ketenangan pada klien
6. Mengambil sampel darah
7. Mengurangi rangsang lingkungan
8. Bersikap tenang dalam bekerja
9. Mengobservasi tanda-tanda komplikasi
DAFTAR
PUSTAKA
1. Abdurrahman, N, Anamnesa dan
pemeriksaan Jasmani Sistem Kardiovaskuler dalam IPD Jilid I, Jakarta: FKUI,
1999.
2. Doenges, Marilynn E,Rencana
Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC, 2000.
3. Himawan, Buku Kuliah Gangguan
Sistem Kardiovaskuler,1994.
4. Hudak&Gallo, Keperawatan
Kritis cetakan I, Jakarta : EGC, 1995
ASKEP KEGAWATDARURATAN AKIBAT ASMA
A. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif
intermiten, reversible dimana trakea dan bronkus berespon dalam secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan dimanifestasikan dengan penyempitan
jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. (Brunner &
Suddarth, Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611).
Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik pada
jalan napas yang mana peradangan ini menyebabkan perubahan derajat obstruksi
pada jalan napas dan menyebabkan kekambuhan. (Lewis, 2000, hal. 660).
Status asmatikus adalah asma yang berat dan
persisten yang tidak berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat
berlangsung lebih dari 24 jam. Ini merupakan situasi yang mengancam kehidupan
dan memerlukan tindakan segera.
Jenis-jenis Asma :a) Asma alergik
Yaitu asma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang, marah, makanan dan jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergen dan riwayat medis masa lalu, iskemia dan rhinita alergik.
b) Asma idiopatik atau non alergik
Yaitu tidak berhubungan dengan alergen spesifik, faktor-faktor seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan lingkungan pencetus serangan. Serangan menjadi lebih berat dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan empisema.
c) Asma gabungan
Yaitu bentuk asma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik.
Klasifikasi Asma:
1.
Mid
Intermiten
Yaitu kurang dari 2 kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek; tanpa
gejala, diantara serangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2 kali sebulan.
Fungsi paru-paru FEV dan PEF diperkirakan lebih dari 80%.
2.
Mid
Persistent
Yaitu serangan lebih ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada waktu
malam timbul lebih dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV atau PEF
diperkirakan sebesar 80%.
3.
Moderat
Persistent
Yaitu serangan timbul setiap hari dan memerlukan penggunaan bronkodilator
serangan timbul 2 kali atau lebih dalam seminggu dan pada waktu malam timbul
gejala berat setiap minggu. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan 60-80%.
4.
Severe
Persistent
Yaitu gejala muncul terus menerus dengan aktivitas yang terbatas,
peningkatan frekuensi serangan dan peningkatan frekuensi gejala pada waktu
malam.Penyebab / Faktor resiko serangan asma
1.
Faktor
Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien
dan disebabkan oleh alergen yang diketahui karena kepekaan individu, biasanya
protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu halus binatang, kain
pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat,
polusi.
2.
Faktor
Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan
faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non spefisik seperti flu
biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma instrinsik ini
lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40
tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada
percabangan trakeobronchial.Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor berikut ini.
1. Kontraksi otot-otot yang
mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.
2. Pembengkakan membran yang
melapisi bronchi.
3. Pengisian bronchi dengan mukus
yang kental.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar
membesar. Sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi
hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang
sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator)
seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari
suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos
dan kelenjar jalan nafas menyebabkan broncho spasme, pembengkakan membran
mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus
otot bronchial diatur oleh impuls syaraf pagal melalui sistem para simpatis.
Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada jalan nafas
dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi
dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronchikonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai
toxemia, tubuh akan mengadakan hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2.
Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran CO2 berlebihan dan
selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa CO2)
menurun sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila
serangan asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga
tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi
lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat
dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang
menurun menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan
terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal
nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan
asidosis metabolik dan konstruksi jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya
menyebabkan sunting peredaran darah ke pembuluh darah yang lebih besar tanpa
melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga mengakibatkan
hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.
Tanda dan Gejala - Batuk produktif
- Wheezing
- Dispnea
- Mengi
- Ekspirasi memanjang
- Barrel chest (dada tong)
- Orthopnea
- Berkeringat
- Tachypnea
- Tachycardia.
Pemeriksaan Diagnostik
a) Test Fungsi paru ( spirometri)
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan napas akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah ( respirasi asidosis) , mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis, adalah criteria lain yang menandakan kebutuhan akan perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.
b) Pemeriksaan gas darah arteri
Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis ( CO2 rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik. Peningkatan PCO2 ( ke kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi asidosis ) seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal napas. Adanya hipoksia berat, PaO2 < 60 mmHg serta nilai pH darah rendah.
c) Arus puncak ekspirasi
APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data yang objektif dalam menentukan derajat beratnya penyakit. Dinyatakan dalam presentase dari nilai dungaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai. Apabila kedua nilai itu tidak diketahui dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.
d) Pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis, pneumonia, dan pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang menurun. Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan hilangnya serangan asma tersebut.
e) Elektrokardiografi
Tanda – tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.
Penanganan Asma
1. Agenis Beta : untuk mendilatasi
otot-otot polos bronkial dan meningkatkan gerakan sililaris. Contoh obat :
epinefrin, albutenol, meta profenid, iso proterenoli isoetharine, dan
terbutalin. Obat-obat ini biasa digunakan secara parenteral dan inhalasi.
2. Metil salin untuk bronkodilatasi,
merilekskan otot-otot polos, dan meningkatkan gerakan mukus dalam jalan nafas.
Contoh obat: aminophyllin, teophyllin, diberikan secara IV dan oral.
3. Antikolinergik, contoh obat :
atropin, efeknya : bronkodilator, diberikan secara inhalasi.
4. Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi
dan bronkokonstriktor. Contoh obat: hidrokortison, dexamethason, prednison,
dapat diberikan secara oral dan IV.
5. Inhibitor sel mast, contoh
obat: natrium kromalin, diberikan melalui inhalasi untuk bronkodilator
dan mengurangi inflamasi jalan nafas.
6. Oksigen, terapi diberikan untuk
mempertahankan PO2 pada tingkat 55 mmHg.
7. Fisioterapi dada, teknik
pernapasan dilakukan untuk mengontrol dispnea dan batuk efektif untuk
meningkatkan bersihan jalan nafas, perkusi dan postural drainage dilakukan
hanya pada pasien dengan produksi sputum yang banyak.
KAJIAN KEPERAWATAN KRITISPengkajian
a. Keluhan :
– Sesak nafas tiba-tiba, biasanya ada faktor pencetus
– Terjadi kesulitan ekspirasi / ekspirasi diperpanjang
– Batuk dengan sekret lengket
– Berkeringat dingin
– Terdengar suara mengi / wheezing keras
– Terjadi berulang, setiap ada pencetus
– Sering ada faktor genetik/familier
AIRWAY
Pengkajian:
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan sputum pada jalan nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.
Diagnosa keperawatan :
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
Intervensi :
a. Amankan pasien ke tempat yang aman
R/ lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang lebih banyak untuk pasien
b. Kaji tingkat kesadaran pasien
R/
dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat kesadaran pasien
c. Segera minta pertolonganR/ bantuan segera dari rumah sakit memungkinkan pertolongan yang lebih intensif
d. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut pasien
R/ mengetahui tingkat pernapasan pasien dan mengetahui adanya penumpukan sekret
e. Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan pasien setengah telungkup dan membuka mulutnya
R/ memudahkan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas
BREATHING
Pengkajian :
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha napas pasien untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status asmatikus pasien mengalami nafas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan sesak napas berat sehingga pasien tidak mampu menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak. Pada pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit. Pantau adanya mengi.
Diagnose keperawatan :
Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
Intervensi :
a. Kaji usaha dan frekuensi napas pasien
R/ mengetahui tingkat usaha napas pasien
b. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung pasien serta pipi ke mulut pasien
R/ mengetahui masih adanya usaha napas pasien
c. Pantau ekspansi dada pasien
R/ mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien
CIRCULATION
Pengkajian :
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien maka jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi, arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini.
Diagnosa Keperawatan :
Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
Intervensi :
- pantau tanda – tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh nadi jugularis
R/ mengetahui masih adanya denyut nadi yang teraba
DAFTAR PUSTAKA
1. Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001
2. Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998
3. Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika; 2001
4. Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates , 2000
5. Smeltzer,
C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1.
Jakarta , EGC, 2002
6. Krisanty
Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama, Jakarta, Trans
Info Media, 2009.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN LUKA BAKAR
A. Definisi
Luka bakar
adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan
petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Guyton &
Hall, 1997).
B. Insiden
Perawatan
luka bakar mengalami perbaikan / kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang
mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat
perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang
menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama
untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya. Di Amerika kurang lebih 2
juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk injuri yang
disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan
injuri yang berat.
Luka bakar
merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok umur.
Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita,
terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th) (Rohman Azzam, 2008).
C.
Etiologi
Etiologi dari
luka bakar (Guyton & Hall, 1997) :
1. Luka Bakar
Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat
(Solid)
2. Luka Bakar
Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar
Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi
Injury)
D. Fase Luka Bakar
Fase – fase luka bakar (Guyton &
Hall, 1997) yaitu :
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase
syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway
(jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi).
Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah
terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera
inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian
utama penderita pada fase akut. Pada fase akut sering terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak
sistemik.
2.
Fase sub akut.
Berlangsung
setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang
terjadi menyebabkan:
1. Proses
inflamasi dan infeksi.
2. Problem
penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju
epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan
hipermetabolisme.
3. Fase
lanjut.
Fase lanjut
akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan
fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah
penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas
dan kontraktur.
E.
Klasifikasi luka bakar (Hudak & Gallo, 1997)
1. Dalamnya
luka bakar
Kedalaman
|
Penyebab
|
Penampilan
|
Warna
|
Perasaan
|
Ketebalan
partial superfisial (tingkat I)
|
Jilatan api,
sinar ultraviolet (terbakar oleh matahari)
|
Kering tidak
ada gelembung, edema minimal atau tidak ada, pucat bila ditekan dengan ujung
jari, berisi kembali bila tekanan dilepas
|
Bertambah
merah
|
Nyeri
|
Lebih dalam
dari partial (tingkat II)
-
Superfisial
-
Dalam
|
Kontak dengan
bahan air atau bahan padat. Jilatan api kepada pakaian. Jilatan langsung
kimiawi, sinar ultraviolet
|
Blister besar
dan lembab yang ukurannya bertambah besar. Pucat bila ditekan dengan ujung
jari, bila tekanan dilepas berisi kembali
|
Berbintik –
bintik yang kurang jelas, putih, coklat, pink, daerah merah coklat
|
Sangat nyeri
|
Ketebalan
sepenuhnya
|
Kontak dengan
bahan cair atau padat. Nyala api, kimia, kontak dengan arus
listrik
|
Kering
disertai kulit yang mengelupas. Pembuluh darah seperti arang terlihat dibawah
kulit yang mengelupas. Gelembung jarang, dindingnya sangat tipis, tidak
membesar, tidak pucat bila ditekan
|
Putih,
kering, hitam, coklat tua, hitam, merah
|
Tidak
sakit, sedikit sakit, rambut mudah lepas bila dicabut
|
2.
Luas luka bakar
Wallace
membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan
nama rule
of nine atua rule of wallace yaitu:
3. Berat
ringannya luka bakar
Untuk mengkaji
beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1) Persentasi
area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.
2) Kedalaman
luka bakar.
3) Anatomi
lokasi luka bakar.
4) Umur klien.
5) Riwayat
pengobatan yang lalu.
6) Trauma yang
menyertai atau bersamaan.
American
college of surgeon membagi dalam:
A.
Parah – critical:
a) Tingkat
II : 30% atau lebih.
b) Tingkat
III : 10% atau lebih.
c) Tingkat
III pada tangan, kaki dan wajah.
d) Dengan
adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
B. Sedang
– moderate:
a) Tingkat II :
15 – 30%
b) Tingkat III
: 1 – 10%
C. Ringan
– minor:
a) Tingkat II :
kurang 15%
b) Tingkat III
: kurang 1%
F.
Patofisilogi
G. Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar (Guyton &
Hall, 1997)
Perubahan
|
Tingkatan
hipovolemik (s/d 48-72 jam pertama)
|
Tingkatan
diuretik (12 jam – 18/24 jam pertama
|
||
Mekanisme
|
Dampak
dari
|
Interstitial
ke vaskuler
|
Hemodilusi
|
|
Fungsi renal
|
Aliran darah renal
berkurang karena desakan darah turun dan CO berkurang
|
Oliguri
|
Peningkatan
aliran darah renal karena desakan darah meningkat
|
Diuresis
|
Kadar sodium
/ natrium
|
Na+ direabsorbsi
oleh ginjal, tapi kehilangan Na+ melalui eksudat dan tertahan
dalam cairan edema
|
Defisit
sodium
|
Kehilangan
Na+ melalui diuresis (normal kembali setelah 1 minggu)
|
Defisit
sodium
|
Kadar
potassium
|
K+
dilepas sebagai akibat cidera jaringan sel – sel darah merah, K+ berkurang
ekskresi karena fungsi renal berkurang
|
Hiperkalemi
|
K+
bergerak kembali dalam sel, K+ terbuang melalui diuresis (mulai 4-5 hari
setelah luka bakar)
|
Hipokalemi
|
Kadar
protein
|
Kehilangan
protein ke dalam jaringan akibat kenaikan permeabilitas
|
Hipoproteinemia
|
||
Keseimbangan
nitrogen
|
Katabolisme
jaringan, kehilangan protein dalam jaringan, lebih banyak kehilangan dari
masukan
|
Keseimbangan
nitrogen negatif
|
Katabolisme
jaringan, kehilangan protein, immobilitas
|
Keseimbangan
nitrogen negatif
|
Keseimbangan
asam basa
|
Metabolisme
anaerob karena perfusi jaringan berkurang, peningkatan asam dari produk
akhir, fungsi renal berkurang (menyebabkan retensi produk akhir tertahan),
kehilangan bikarbonas serum
|
Asidosis
metabolik
|
Kehilangan
sodium bicarbonas melalui diuresis, hipermetabolisme disertai peningkatan
produk akhir metabolisme
|
Asidosis
metabolik
|
Aliran darah renal berkurang
|
Terjadi
karena sifat cidera berlangsung lama dan terancam psikologi pribadi
|
Stres karena
luka
|
||
Eritrosit
|
Terjadi
karena panas, pecah menjadi fragil
|
Luka bakar
termal
|
Tidak terjadi
pada hari – hari pertama
|
Hemokonsentrasi
|
Lambung
|
Curling ulcer
(ulkus pada gaster), perdarahan lambung, nyeri
|
Rangsangan
central di hipotalamus dan peningkatan jumlah cortison
|
Akut dilatasi
dan paralise usus
|
Peningkatan
jumlah cortison
|
Jantung
|
MDF meningkat
2x lipat, merupakan glikoprotein yang toxic yang dihasilkan oleh kulit yang
terbakar
|
Disfungsi
jantung
|
Peningkatan
zat MDF (Miokard Depresant Factor) sampai 26 unit, bertanggung jawab terhadap
syok septic
|
CO menurun
|
H. Indikasi
Rawat Inap Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)
A. Luka
bakar grade II :
1) Dewasa >
20%
2) Anak/orang
tua > 15%
B. Luka
bakar grade III
C. Luka
bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.
I.
Penatalaksanaan (Long, Barbara C, 1996)
A. Resusitasi
A, B, C.
1)
Pernafasan
a)
Udara panas mukosa rusak
oedem
obstruksi.
b) Efek
toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin iritasi Bronkhokontriksi obstruksi
gagal nafas.
2)
Sirkulasi:
Gangguan
permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler
hipovolemi relatif syok ATN gagal ginjal.
B. Infus,
kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
C.
Resusitasi cairan Baxter.
Dewasa :
Baxter.
RL 4 cc x BB
x % LB/24 jam.
Anak: jumlah
resusitasi + kebutuhan faal:
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
< 1 tahun :
BB x 100 cc
1 – 3 tahun :
BB x 75 cc
3 – 5 tahun :
BB x 50 cc
½ Ã diberikan 8
jam pertama
½ Ã diberikan
16 jam berikutnya.
Hari kedua:
Dewasa :
Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin.
( 3-x) x 80 x
BB gr/hr
100
(Albumin 25%
= gram x 4 cc) Ã 1 cc/mnt.
Anak :
Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor
urine dan CVP.
E. Topikal dan
tutup luka
- Cuci luka
dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver
sulfadiazin tebal.
- Tutup kassa
tebal.
- Evaluasi 5 –
7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat –
obatan:
o Antibiotika :
tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu
berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik :
kuat (morfin, petidine)
o Antasida : kalau perlu
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak
& Gallo. (1997). Keperawatan
Kritis: Pendekatan Holistik.Volume I. Penerbit Buku Kedoketran EGC.
Jakarta.
Long,
Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I.
(terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin
E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi
3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Anonim. (2009). Kumpulan Artikel Keperawatan Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Luka Bakar (Combustio). (Online)
http://www.artanto.com.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN INTOKSIKASI INSEKTISIDA (IFO)
A. Pengertian
Intoksikasi
(keracunan) adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang
menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya
dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia untuk membasmi hama yang
merugikan manusia. Termasuk peptisida ini adalah insektisida. Ada dua macam
insektisida yang paling banyak digunakan dalam pertanian adalah :
1.
insektisida hidrokarbo khlorin (IHK
= chlorinated hydrocarbon)
2.
insektisida fosfat organic (IFO =
organo phosphate insecticide).
Yang
paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus meningkat.
Sifat - sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak
digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya
adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini menembus kulit yang normal (intact), juga
dapat diserap di paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi dalam
jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK.
Macam
– macam IFO adalah Malathion (Tolly), Paraathion, Diazinon, Basudin, Paraoxon
dan lain – lain. IFO sebenarnya dibagi 2 macam yaitu IFO murni dan golongan
carbamate. Salah satu contoh golongan carbamate adalah baygon.
B. Patogenesis
IFO
bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetilkolinesterase tubuh
(KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis Akh
dengan jalan mengadakan ikatan Akh- KhE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi
racun lebih tinggi ikatan IFO – KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya akan
terjadi penumpukan AKh di tempat – tempat tertentu, sehingga timbul gejala –
gejala rangsangan AKh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muscarinik,
nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP).
Pada
keracunan IFO, ikatan IFO –KhE bersifat menetap (irreversible), sedangkan pada
keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible). Secara farmakologis
efek AKh dapat dibagi dalan 3 bagian, yaitu :
1.
Muskarini, terutama pada saluran
pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus dan jantung.
2.
Nikotinik, terutama pada otot – otot
skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot pernapasan.
3.
SSP, menimbulkan nyeri kepala,
perubahan emosi, kejang – kejang (konvulsi) sampai koma.
C. Gambaran klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan
visus, hiperaktivitas kelenjar ludah, keringat dan saluran pencernaan, serta
kesukaran bernapas.
Keracunan ringan : anoreksia, nyeri
kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor lidah, kelopak mata, pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah –
muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis, fasikulasi otot dan
bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi –
point, reaksi cahaya negatif, sesak napas, sianosis, edema paru, inkontinensia
urine dan feses, konvulsi, koma, blokade jantung, akhirnya meninggal.
D. Pemeriksaan .
1. Laboratorik.
Pengukuran
kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagosis
keracunan IFO akut maupun kronik (menurun sekian % dari harga normal).
Keracunan akut : ringan
: 40 – 70 %
sedang : 20 – 40 %
berat : < 20 %.
Keracunan
kronik bila kadar KhE menurun sampai 25 - 50 %, setiap individu yang
berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan baru diizinkan
bekerja kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N.
2. Patologi Anatomi (PA)
Pada keracunan akut, hasil
pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. Sering hanya ditemukan edema paru,
dilatasi kapiler, hiperemi paru, otak dan organ – organ lain.
E. Penatalaksanaan
1. Resusitasi
Setelah jalan napas dibebaskan dan
dibersihkan, periksa pernapasan dan nadi. Infus dextrose 5 % kecepatan 15 – 20
tts/mnt, napas buatan + oksigen, hisap lendir dalam saluran napas, hindari obat
– obat depresan saluran napas, kalau perlu respirator pada kegagalan napas
berat. Hindar pernapasan buatan dari mulut ke mulut sebab racun
organofosfat akan meracuni lewat mulut penolong. Pernapasan buatan
hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag – valve –
mask.
2. Eliminasi
Emesis,
merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan
pemberian sirup ipecac 15 –30 ml. Dapat diulan setelah 20 menit bila tidak
berhasil. Katarsis (intestinal lavage), dengan pemberian laksans bila diduga
racun telah sampai di usus halus dan tebal. Kumbah lambung (KL atau gastric
lavage), pada penderita yang kesadaran yang menurun, atau pada mereka
yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam 4 jam
setelah keracunan.
Keramas
rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan KL sebaiknya
hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang daari 4 – 6 jam. Pada koma
derajat sedang hingga berat tindakan KL sebaiknya dikerjakan dengan
bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon, untuk mencegah aspirasi
pneumonia.
3. Antidotum
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan
menghambat efek akumulasi AKh pada tempat penumpukan.
a.
Mula –mula diberikan bolus iv 1 –
2,5 mg
b.
Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap
5 – 10 – 15 menit sampai timbul gejala – gejala atropinisasi (muka merah, mulut
kering, takikardi, midriasis, febris, dan psikosis).
c.
Kemudian interval diperpanjang
setiap 15 – 30 – 60 menit, selanjutnya setiap 2 – 4 – 6 – 8 dan 12 jam
d.
Pemberian SA dihentikan minimal
setelah 2 X 24 jam. Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect
berupa edema paru dan kegagalan pernapasan akut yang sering fatal.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian difokuskan pada masalah
yang mendesak seperti jalan napas dan sirkulasi yang mengancam jiwa, adaya
gangguan asam basa, keadaan status jantung, status kesadaran. Riwayat kesehatan
: riwayat keracunan, bahan racun yang digunakan, berapa lama diketahui
setelah keracunan, ada masalah lain sebagai pencetus keracunan dan sindroma
toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.
B. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang bisa timbul
adalah tidak efektifnya pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan tubuh,
gangguan kesadaran, tidak efektifnya koping indicidu.
C. Intervensi
Pertolongan pertama yang dilakukan
meliputi tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan hidup, mencegah
penyerapan dan penawar racun (antidotum) yang meliputi resusitasi : air way,
breathing dan circulation, eliminasi untuk menghambat absorbsi melalui
pencernaan dengan cara kumbah lambung, emesis atau katartasis dan keramas
rambut.
Berikan antidotum sesuai pesanan
dokter minimal 2 X 24 jam yaitu Atropin sulfat (SA).
Perawatan suportif meliputi
pertahankan agar pasien tidak sampai demam atau mengigil, monitor perubahan –
perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat, distress pernapasan,
sianosis, diaphoresis, dan tanda – tanda lain kolaps pembuluh darah dan
kemungkinan fatal atau kematian. Monitor tanda vital setiap 15 menit untuk
beberapa jam dan laporkam perrubahannya segera kepada dokter. Catat tanda –
tanda seperti muntah, mual dan nyeri abdomen serta monitor semua muntah akan
adanya darah. Observasi feses dan urine serta pertahankan cairan intravenous
sesuai pesanan.
Jika pernapasan depresi, berikan
oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin bias diperlukan. Jika keracunan
sebagai suatu usaha untuk membunuh diri maka lakukan safety precautions.
Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatris klinis. Pertimbangkan juga masalah
kelainan kepribadian, reaksi depresi, psikosis, neurosis, mental retardasi dan
lain – lain.
SUMBER :
1.
Lab./UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Dr. Soetomo, (1994), “Pedoman Diagnosis dan Terapi”, Surabaya
2.
Phipps, etc. (1991), ”Medical
Surgical Nursing ; Cencept and Clinical Practice”, 4th,
Mosby Year Book, Toronto.
3.
Departemen Kesehatan RI, (2000), “Resusistasi
Jantung – Paru – Otak ; Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support)”,
Jakarta.
4.
Emerton, D.M., (1989), “Principles
and Practice of Nursing”, University of Queensland Press, Australia
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARUTATAN PADA KLIEN DENGAN EDEMA
PARU
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Edema
paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang
intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh
karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini penting diketahui
oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan
oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang
akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya
faktor , dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan
respiratory distress syndrome ?
2. Apa penyebab dari respiratory
distress syndrome?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari
respiratory distress syndrome?
4. Bagaimana patofisiologi dari
respiratory distress syndrome?
5. Apa pemeriksaan penunjang untuk
respiratory distress syndrome?
6. Bagaimana komplikasi respiratory
distress syndrome?
7. Bagaimana penatalaksanaan
respiratory distress syndrome ?
8.
Bagaimana
asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory distress syndrome?
C. Tujuan
C. Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan tentang RDS dan Asuhan Keperawatan pada klien
dengan kasus RDS.
Tujuan Khusus
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang
respiratory distress syndrome.
2. Menjelaskan tentang penyebab dari
respiratory distress syndrome.
3. Menjelaskan tentang manifestasi
klinis dari respiratory distress syndrome.
4. Menjelaskan tentang patofisiologi
dari respiratory distress syndrome.
5. Menjelaskan tentang pemeriksaan
penunjang untuk respiratory distress syndrome.
6. Menjelaskan tentang komplikasi
respiratory distress syndrome.
7. Menjelaskan tentang penatalaksanaan
respiratory distress syndrome.
8. Menjelaskan tentang asuhan
keperawatan pada klien dengan respiratory distress syndrome.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
DEFINISI
Edema
paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan
tekanan intravaskular. (Elizabeth J Corwin, 2001)
Edema
paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan ekstravaskular yang
patologis pada jaringan parenkim paru. (Titin Suprihatin, 2000)
B.
ETIOLOGI
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
a.
Peningkatan
tekanan kapiler paru :
1)
Peningkatan
tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis
mitral).
2)
Peningkatan
tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
3)
Peningkatan
tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria
pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
b.
Penurunan
tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia
sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, penyakit dermatologi atau
penyakit nutrisi.
c.
Peningkatan
tekanan negatif intersisial :
1)
Pengambilan
terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2)
Tekanan
pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
d. Peningkatan tekanan onkotik
intersisial.
Sampai
sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran
alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)
a.
Pneumonia
(bakteri, virus, parasit).
b.
Bahan
toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
c.
Bahan
asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e.
Pneumonitis
radiasi akut.
f.
Bahan
vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g.
Disseminated
Intravascular Coagulation.
h.
Imunologi
: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i.
Shock
Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j.
Pankreatitis
Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik :
a.
Post
Lung Transplant.
b.
Lymphangitic
Carcinomatosis.
c.
Fibrosing
Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
a.
High
Altitude Pulmonary Edema.
b.
Neurogenic
Pulmonary Edema.
c.
Narcotic
overdose.
d. Pulmonary embolism.
e.
Eclampsia
f. Post Cardioversion.
f. Post Cardioversion.
f.
Post
Anesthesia.
g.
Post
Cardiopulmonary Bypass.
C. PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas
terjadi ketika cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar
pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan
pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam
pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah
untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak megandung
segala sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya.
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan
cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai
gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas
(oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan
pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air
dalam paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary
edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau
dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary
edema.
D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan
perubahan radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.
1. Stadium 1.
1. Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas
saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang
tertutup pada saat inspirasi.
2. Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas
pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan
septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu
memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada
pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
3. Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas
sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang
lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams
digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988).
D.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1. Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan
hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal
jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa
ditemukan,
2. Laboratorium
a. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2
mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
b. Enzim kardiospesifik meningkat jika
penyebabnya infark miokard.
c. Darah rutin, ureum, kreatinin, ,
elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB, Troponin T),
angiografi koroner
3. Foto thoraks
Pulmonary edema secara khas
didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari
area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah
utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru
yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang
dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
F. PENATALAKSANAAN
1.
Posisi
½ duduk.
2.
Oksigen
(40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60
mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau
tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator.
3.
Infus
emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4.
Nitrogliserin
sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital.
5.
Morfin
sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
6.
Diuretik
Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam
atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
7.
Bila
perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8.
Trombolitik
atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9.
Intubasi
dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan
konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark
miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda
tendinae.
G. KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin
timbul dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang
mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan
darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk
(hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang
berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.
H. PENCEGAHAN
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada
penyebab dari pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan
jangka panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung, kenaikan
yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari
overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain,
beberapa sebab-sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah,
seperti ARDS yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.
BAB II
ASUHAN
KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Data umum:
1.
Identitas
:
Umur
: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda
2.
Riwayat
Masuk
Klien
biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk
disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat
terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan
masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
3.
Riwayat
Penyakit Dahulu
Predileksi
penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
Pemeriksaan fisik
1.
Sistem
Integumen
Subyektif
: -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
2.
Sistem
Pulmonal
Subyektif
: sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif
: Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif),
sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut
meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang
paru.
3.
Sistem
Cardiovaskuler
Subyektif
: sakit kepala
Obyektif
: Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun,
Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
4.
Sistem
Neurosensori
Subyektif
: gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif
: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
5.
Sistem
Musculoskeletal
Subyektif
: lemah, cepat lelah
Obyektif
: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot
aksesoris pernafasan
6.
Sistem
genitourinaria
Subyektif
:
Obyektif
: produksi urine menurun/normal.
7.
Sistem
digestif
Subyektif
: mual, kadang muntah
Obyektif
: konsistensi feses normal/diare
Pemeriksaan
Laboratorium :
1.
Hb
: menurun/normal
2.
Analisa
Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon
darah meningkat/normal.
3.
Elektrolit
: Natrium/kalsium menurun/normal.
B.
PRIORITAS MASALAH
1.
Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit, kelemahan
dan kelelahan.
2.
Gangguan
pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan
ventilator tidak tepat.
3.
Gangguan
komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal.
4.
Resiko
tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal.
C.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa
Keperawatan :
1.
Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit, kelemahan
dan kelelahan
Tujuan
: Jalan nafas dapat dipertahankan kebersihannya
Kriteria
: Suara nafas bersih, ronchii tidak terdengar pada seluruh lapang paru
Rencana
Tindakan
a. Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam
b. Lakukan hisap lendir bila ronchii
terdengar
c. Monitor humidivier dan suhu
ventilator
d. Monitor status hidrasi klien
e. Monitor ventilator tekanan dinamis
f. Beri Lavase cairan garam faali
sesuai indikasi
g. Beri fisioterapi dada sesuai
indikasi
h. Beri bronkodilator
i.
Ubah
posisi, lakukan postural drainage
Rasional
a. Monitor produksi secret
b. Tekanan penghisapan tidak lebih
100-200 mmHg. Hiperoksigenasi dengan 4-5 kali pernafasn dengan O2 100 % dan
hiperinflasi dengan 1 ½ kali VT menggunakan resusitasi manual atau ventilator.
Auskultasi bunyi nafas setelah penghisapan
c. Oksigen lembab merangasang
pengenceran sekret. Suhu ideal 35-37,8OC
d. Mencegah sekresi kental
e. Peningkatan tekanan tiba-tiba
mungkin menunjukkan adanya perlengketan jalan nafas
f. Fasilitasi pembuangan sekret.
g. Fasilitasi pengenceran dan
penge-luaran sekret menuju bronkus utama.
h. Fasilitasi pengeluaran sekret menuju
bronkus utama.
2.
Gangguan
pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan
ventilator tidak tepat
Tujuan
: Pertukaran gas jaringan paru optimal
Kriteria
: Gas Darah Arteri dalam keadaan normal
Rencana
Tindakan
a.
Periksa
AGD 10-30 menit setelah pengesetan ventilator atau setelah adanya perubahan
ventilator
b.
Monitor
AGD atau oksimetri selama periode penyapihan
c.
Kaji
apakah posisi tertentu menimbulkan ketidaknyamanan pernafasan
d.
Monitor
tanda hipoksia dan hiperkapnea
Rasional
a.
AGD
diperiksa sebagai evaluasi status pertukaran gas; menunjukkan konsentrasi O2
& CO2 darah.
b.
Periode
penyapihan rawan terhadap perubahan status oksigenasi.
c.
Dalam
berbagai kondisi, ketidak-nyamanan dapat mempengaruhi klinis penderita.
d.
Hipoksia
dan hiperkapnea ditandai adanya gelisah dan penurunan kesadaran, asidosis,
hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak meningkat.
3.
Gangguan
komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan
: Klien dan petugas kesehatan dapat berkomunikasi secara efektif selama
pemasangan selang endotrakeal
Kriteria
: Klin dan perawat menentukan dan menggunakan metodayang tepat untuk
berkomunikasi, tidak terjadi hambatan komunikasi berarti, menggunakan metode
yang tepat
Rencana Tindakan:
Rencana Tindakan:
a.
Jelaskan
lingkungan, semua prosedur, tujuan dan alat yang berhubungan dengan klien
b.
Berikan
bel atau papan catatan serta alat tulis untuk momunikasi
c.
Ajukan
pertanyaan tertutup
d.
Yakinkan
pasien bahwa suara akan kembali bila endotrakela dilepas.
Rasional
a.
Mengurangi
kebingungan klien dan meminimalisasi adanya komunikasi yang sulit antara klien
dan perawat
b.
Sebagai
media komunikasi antara klien dan perawat
c.
Menghindari
komunikasi tidak efektif
d.
Mengurangi
kecemasan yang mungkin timbul akibat kehilangan suara
4.
Resiko
tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan
: Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Kriteria
: tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial
Rencana
Tindakan
a.
Evaluasi
warna, jumlah, konsistensi dan bau sputum tiap kali penghisapan
b.
Tampung
spesimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
c.
Pertahankan
teknis steril selama penghisapan lender
d.
Ganti
selang ventilator tiap 24 – 72 jam
Rasional
a.
Infeksi
traktus respiratorius dapat mengakibatkan sputum bertambah banyak, bau lebih
menyengat, warna berubah lebih gelap
b.
Memastikan
adanya kuman dalam sputum/jalan nafas
c.
Mengurangi
resiko infeksi nosokomial
d.
Mengurangai
resiko infeksi nosokomial
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta
Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia, EGC, Jakarta
Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis, Philadelphia
Mansjoer Arif:1999: Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid I: Medi Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Suprihatin, Titin (2000), Bahan
Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK Angkatan I, Universitas Airlangga,
Surabaya