Kamis, 19 Maret 2009

TOKSIKOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah kedokteran, toksikologi didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan bahan kimia tersebut. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi. Setiap zat kimia pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah racun; tiada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada tahun 1564 Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Pernyataan Paracelcus tersebut sampai saat ini masih relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang menyebabkan keracunan, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang paling penting.
Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang didefinisikan sebagai kemampuan bahan kimia untuk menyebabkan kerusakan/injuri. Istilah toksisitas merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak terjadinya kerusakan tergantung pada jumlah unsur kimia yang terabsopsi. Sedangkan istilah bahaya (hazard) adalah kemungkinan kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat tertentu; kondisi penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama. Untuk menentukan bahaya, perlu diketahui dengan baik sifat bawaan toksisitas unsur dan besar paparan yang diterima individu. Manusia dapat dengan aman menggunakan unsur berpotensi toksik jika menaati kondisi yang dibuat guna meminimalkan absopsi unsur tersebut. Risiko didefinisikan sebagai kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek yang tidak diinginkan akibat paparan berbagai bahan kimia atau fisik.
Istilah toksikokinetik merujuk pada absopsi, distribusi, ekskresi dan metabolisme toksin, dosis toksin dari bahan terapeutik dan berbagai metabolitnya. Sedangkan istilah toksikodinamik digunakan untuk merujuk berbagai efek kerusakan unsur tersebut pada fungsi fital.


BAB II
PEMBAHASAN

A. ETIOLOGI
Pada dasarnya tidak ada batas yang tegas tentang penyebab dari keracunan berbagai macam obat dan zat kimia, karena praktis setiap zat kimia mungkin menjadi penyebabnya. Secara ringkas klasifikasi keracunan sebagai berikut:
• Menurut cara terjadinya
1. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak membahayakan. Self poisoning biasanya terjadi karena kekurang hati-hatian dalam penggunaan. Kasus ini bisa terjadi pada remaja yang ingin coba-coba menggunakan obat, tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
2. Attempted poisoning
3. Dalam kasus ini, pasien memang ingin bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali karena salah tafsir dalam penggunaan dosis.
4. Accidental poisoning
Kondisi ini jelas merupakan suatu kecelakaan tanpa adanya unsur kesengajaan sama sekali. Kasus ini banyak terjadi pada anak di bawah 5 tahun, karena kebiasaannya memasukkan segala benda ke dalam mulut.

5. Homicidal piosoning
Keracunan ini terjadi akibat tindak kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni seseorang.
• Menurut waktu terjadinya keracunan
1. Keracunan kronis
Diagnosis keracunan ini sulit dibuat, karena gejala timbul perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil.
2. Keracunan akut
Keracunan jenis ini lebih mudah dipahami, karena biasanya terjadi secara mendadak setelah makan atau terkena sesuatu. Selain itu keracunan jenis ini biasanya terjadi pada banyak orang (misal keracunan makanan, dapat mengenai seluruh anggota keluarga atau bahkan seluruh warga kampung). Pada keracunan akut biasanya mempunyai gejala hampir sama dengan sindrom penyakit, oleh karena itu harus diingat adanya kemungkinan keracunan pada sakit mendadak.
• Menurut alat tubuh yang terkena
Keracunan digolongkan menurut organ tubuh yang terkena, misal racun pada SSP, racun jantung, racun hati, racun ginjal dan sebagainya. Suatu organ cenderung dipengaruhi oleh banyak obat, sebaliknya jarang terdapat obat yang mempengaruhi /mengenai satu organ saja.

• Menurut jenis bahan kimia
1. Alkohol
2. Fenol
3. Logam berat
4. Organofosfor
Pengklasifikasian bahan toksik yang menjadi penyebab keracunan adalah sebagai berikut:
• Menurut keadaan fisik : gas, cair, debu
• Menurut ketentuan label : eksplosif, mudah terbakar, oksidizer
• Menurut struktur kimiawi : aromatik, halogenated, hidrokarbon, nitrosamin
• Menurut potensi toksik : super toksik, sangat toksik sekali, sangat toksik, toksik, agak toksik

B. METODE KONTAK DENGAN RACUN
Jalur masuk bahan kimia ke dalam tubuh berbeda menurut situasi paparan. Metode kontak dengan racun melalui cara berikut:
• Tertelan
Efeknya bisa lokal pada saluran cerna dan bisa juga sistemik. Contoh kasus: overdosis obat, pestisida
• Topikal (melalui kulit)
Efeknya iritasi lokal, tapi bisa berakibat keracunan sistemik. Kasus ini biasanya terjadi di tempat industri. Contoh: soda kaustik, pestida organofosfat
• Topikal (melalui mata)
Efek spesifiknya pada mata dan bisa menyebabkan iritasi lokal. Contoh : asam dan basa, atropin
• Inhalasi
Iritasi pada saluran nafas atas dan bawah, bisa berefek pada absopsi dan keracunan sistemik. Keracunan melalui inhalasi juga banyak terjadi di tempat-tempat industri. Contoh : atropin, gas klorin, CO (karbon monoksida)
• Injeksi
Efek sistemik, iritasi lokal dan bisa menyebabkan nekrosis. Masuk ke dalam tubuh bisa melalui intravena, intramuskular, intrakutan maupun intradermal.

C. EFEK TOKSIK
Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dalam toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru akan digunakan harus diuji toksisitas dan keamanannya. Seabelum suatu obat dapat digunakan untuk indikasi tertentu, harus diketahui dulu efek apa yang akan terjadi terhadap semua organ tubuh yang sehat. Jarang obat yang hanya mempunyai satu jenis efek, hampir semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu mempengaruhi berbagai macam organ dan fungsi fital. Efek yang menonjol, biasanya merupakan pegangan dalam menentukan penggunaan, sedangkan perubahan lain merupakan efek samping yang bahkan bisa menyebabkan toksik. Biasanya reaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik. Karena itu, gejala toksik merupakan efek farmakodinamik yang berlebihan.
Reaksi toksik berbeda secara kualitatif, tergantung durasi paparan. Paparan tunggal atau paparan berulang yang berlangsung kurang dari 14 hari disebut paparan akut. Paparan yang terjadi kurang dari 14 hari merupakan paparan sub-akut. Paparan sub-kronis bila terpapar selama 3 bulan dan disebut paparan kronis bila terpapar secara terus-menerus selama lebih dari 90 hari. Efek toksik pada paparan kronis dapat tidak dikenali sampai setelah paparan terjadi berulang kali.
Kemunculan efek toksik sesudah paparan akut dapat terjadi secara cepat maupun terjadi setelah interval tertentu. Efek yang seperti ini disebut sebagai delayed toxicity (toksisitas tertunda). Adapun efek berbahaya yang timbul akibat kontak dengan konsentrasi rendah bahan kimia dalam jangka waktu lama disebut low level, long term-exposure (paparan jangka lama, tingkat rendah). Efek berbahaya, baik akibat paparan akut maupun kronis, dapat bersifat reversibel maupun ireversibel. Riversibilitas relatif efek toksik tergantung daya sembuh organ yang terkena.
Manusia bisa melakukan kontak dengan beberapa bahan kimia berbeda secara bersamaan ataupun sekuensial. Efek biologis akibat paparan campuran beberapa bahan dapat digolongkan sebagai adiktif, sinergitik, potensiasi, antagonistik dan toleransi. Pada potensiasi, satu dari dua bahan tidak menimbulkan toksik, namun ketika terjadi paparan kedua bahan tersebut, efek toksik dari bahan yang aktif akan meningkat. Kondisi sinergistik dua bahan yang mempunyai sifat toksik sama atau salah satu bahan memperkuat bahan yang lain, maka efek toksik yang dihasilkan lebih bahaya. Antagonistik merupakan dua bahan toksik yang mempunyai kerja berlawanan, toksik yang dihasilkan rendah/ringan. Toleransi merupakan keadaan yang ditandai oleh menurunnya reaksi terhadap efek toksik suatu bahan kimia tertentu. Biasanya efek toksik campuran bahan kimia bersifat aditif.

D. INDEK TERAPEUTIK
Indek terapeutik adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif. Indek ini menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada pengunaan biasa. Indeks terapeutik suatu dosis diperlukan, karena terapi yang dijalankan dapat menimbulkan efek. Diperkirakan sebagai rasio LD 50 (dosis letal pada 50 % kasus) terhadap ED 50 (dosis efektif pada 50% kasus). Dalam praktik, sebuah substansi dikatakan memiliki indeks terapeutik “tinggi” atau “rendah”. Penggunaan terapi obat sebaiknya mempunyai ED yang lebih besar daripada LD. Obat yang mempunyai indek terapeutik lebar biasanya tidak memerlukan pemantauan obat terapeutik. Pemantauan obat terapeutik biasanya dilakukan pada obat yang mempunyai indek terapeutik sempit. Tujuan dari pemantauan obat terapeutik adalah:
• Mengevaluasi kepatuhan klien terhadap terapi yang diberikan
• Untuk mengetahui apakah obat lain sudah mengubah konsentrasi obat
• Untuk menentukan respon tidak efektif terhadap obat tertentu
• Untuk menentukan kadar obat dalam serum apabila dosis obat diubah.
Setiap zat kimia, bila diberikan dengan dosis yang cukup besar akan menimbulkan gejala-gejala toksis. Gejala-gejala ini pertama-tama harus ditentukan pada hewan coba melalui penelitian toksisitas akut dan subkronik. Penelitian toksisitas akut diutamakan untuk mencari efek toksik, sedangkan penelitian toksisitas kronik untuk menguji keamanan obat. Penilaian keamanan obat dapat dilalukan melalui tahapan berikut:


• Menentukan LD 50
• Melakukan percobaan toksisitas akut dan kronik untuk menentukan no effect level
• Melakukan percobaan karsinogenisitas, teratogenesis dan mutagenisitas.

E. PENATALAKSANAAN DAN IMPLIKASI KEPERAWATAN
Orang sering menghubungkan racun dengan antidotnya, padahal sebenarnya hanya ada sedikit antidot spesifik. Penanganan yang tepat dan hati-hati akan mencegah kondisi korban menjadi lebih fatal. Seorang perawat dalam menangani kasus keracunan ini bisa berperan dalam proses pengkajian, perencanaan, implementasi sampai evaluasi. Pada pengelolaan pasien keracunan yang paling penting adalah penilaian klinis, meskipun sebab keracunan belum diketahui. Hal ini disebabkan karena pengobatan simtomatis sudah dapat dilakukan terhadap gejala-gejalanya. Diantaranya yang sangat penting pada permulaan keracunan adalah penilaian kesadaran dan respirasi. Kesadaran merupakan petunjuk penting tentang beratnya keracunan. Tingkat kesadaran dalam toksikologi dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
• Tingkat I : penderita ngantuk tapi mudah diajak bicara
• Tingkat II : penderita dalam keadaaan sopor, dapat dibangunkan dengan rangsang minimal, misalnya bicara keras-keras atau menggoyang lengan
• Tingkat III : penderita dalam keadaan soporokoma, hanya dapat bereaksi dengan rangsang maksimal, yaitu dengan menggosok sternum dengan kepalan tangan.
• Tingkat IV : penderita dalam keadaan koma, tidak ada reaksi sedikitpun terhadap rangsang maksimal.

Rencana tindakan untuk pasien keracunan meliputi:
• Stabilisasi
Perawatan pasien keracunan diarahkan untuk stabilisasi masalah-masalah mendesak jalan nafas yang mengancam hidup, pernafasan dan sirkulasi. Langkah-langkah stabilisasi adalah sebagai berikut:
1. Kaji dan tangani jalan nafas
2. Kaji dan kontrol perdarahan. Cegah dan tangani syok dengan pemberian produk darah jika perlu.
3. Kaji terhadap adanya cidera yang berkaitan dengan proses penyakit lain
4. Kaji, tetapkan, tangani status asam basa dan elektrolit.
5. Kaji status jantung
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan singkat, dengan penekanan pada wilayah-wilayah yang mungkin memberi petunjuk ke arah diagnosis toksikologi, meliputi:
1. Tanda-tanda vital
Evaluasi yang teliti terhadap tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu dan tingkat kesadaran.
2. Mata
Mata merupakan sumber informasi yang penting untuk toksikologis, karena beberapa kasus toksikologis menyebabkan perubahan pada mata. Tetapi dalam menentukan prognosis keracunan gejala ini tidak bisa dijadikan pegangan.
3. Mulut
Mulut mungkin menunjukkan tanda-tanda terbakar yang disebabkan oleh unsur korosif atau mungkin menunjukkan bekas tertentu yang menjadi cirikas dari suatu bahan toksik.
4. Kulit
Kulit sering menunjukkan adanya kemerahan atau keluar keringat yang berlebihan.
5. Abdomen
Pemeriksaan abdomen bisa menunjukkan adanya ileus, bising usus yang hiperaktif, dan kejang abdomen. Perubahan bising usus biasanya menyertai perubahan tingkat kesadaran. Pada kesadaran tingkat III biasanya bising usus negatif, dan pada tingkat IV selalu negatif, sehingga pemeriksaan ini bisa dipakai untuk mencocokkan tingkat kesadaran, misalnya pada orang yang bersimulasi.
6. Sistem saraf
Seizure fokal atau defisit motorik menunjukkan adanya lesi struktural daripada toksik atau ensefalopati metabolik.
Pada intinya penanganan awal pada kasus keracunan adalah menangani masalah ABC, bukan mencari penyebab keracunannya apa, baru setelah kondisi stabil dicari penyebab keracunan.
• Riwayat umum
Setelah pasien berhasil distabilkan, upaya-upaya untuk mendapatkan riwayat pemajanan bisa dilakukan. Riwayat tersebut bisa diperoleh dari pasien sendiri, angota keluarga, teman-teman, para penyelamat dan saksi. Hal terpenting adalah mengidentifikasi bahan toksik, jumlah dan waktu pemajanan, alergi atau penyakit yang mendasari, dan apakah tindakan pertolongan pertama yang telah dilakukan.
• Identifikasi keberadaan sindrom toksik
Adanya sindrom toksik dapat membantu menegakkan diagnosa banding dengan mengusulkan berdasarkan kelas dari racun yang mungkin mengenai korban. Lima sindrom toksik yang sering muncul adalah sebagai berikut:
1. Kolinergik
Gejala : tanda vital menurun, salivasi berlebihan, lakrimasi, urinasi, emesis dan diaforesis, depresi sistem saraf, bradikardi, kejang.
Penyebab : insektisida organofosfat dan karbamat, beberapa jamur
2. Opiat/hipnotik sedatif
Gejala : TTV menurun, koma, depresi pernafasan, miosis, hipotensi, bradikardi, penurunan bising usus, edema pulmonal.
Penyebab : narkotik, benzodiazepam, barbiturat, etanol, klonidin
3. Antikolinergik
Gejala : delirium, kering, ruam kulit, pupil melebar, suhu tinggi, retensi urine, bising usus menurun, takikardi, kejang
Penyebab ; antihistamin, atropin, agen antidepresan, beberapa tanaman jamur
4. Simpatomimetik
Gejala : delusi, paranoia, takikardia, hipertensi, midriasis, kejang
Penyebab : kokain, teofilin, kafein, amfetamin, fenipropanolamin
5. Gejala putus obat
Gejala : diare, midriasis, takikardia, halusinasi, kram
Penyebab : alkohol, barbiturat, narkotik, benzodiazepin
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus keracunan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:
• Penatalaksanaan umum
• Penatalaksanaan tingkat lanjut
Penatalakasanaan umum
Langkah ini termasuk tindakan pertolongan pertama yang diberikan untuk mencegah absopsi agen dan jika memungkinkan untuk menyingkirkan pemajanan berlanjut atau berulang.
Properti fisiokimia obat atau toksik, banyaknya, dan waktu pemajanan dapat menentukan tipe dan beratnya dekontaminasi. Dekontaminasi melibatkan pengeluaran toksik dari kulit, saluran cerna, inhalasi, dan okular.
• Pemajanan okuler
Dalam kasus ini , dekontaminasi dicapai dengan pengaliran air suam-suam kuku atau normal saline segera setelah pemajanan. Menggunakan gelas besar atau mandi pancur bertekanan rendah, mata akan terus-menerus tergenangi selama 15 sampai 30 menit sambil mengedip mata, memejam dan membuka mata. Jika gejala dari iritasi okuler belum mereda setelah dilakukan dekontaminasi, maka diperlukan pemeriksaan mata lanjutan.
• Pemajanan dermal
Setelah melepas pakaian yang terkontaminasi, dekontaminasi kulit dilakukan dengan merendam kulit dalam air suam-suam kuku selama 15 sampai 30 menit dan kemudian secara lembut mulai membersihkan bagian yang terkontaminasi dengan air dan sabun, membilas dengan menyeluruh. Kasus penyerapan toksin secara dermal, pemberi perawatan kesehatan dapat berisiko terhadap toksisitas jika terjadi kontaminasi dermal sementara membantu korban untuk dekontaminasi. Netralisasi asam basa pada kulit dianjurkan untuk pemberi perawatan.
• Pemajanan inhalasi
Langkah pertama yang dilakukan adalah memindahkan korban ke tempat yang udaranya segar sambil memastikan bahwa penolong tidak terpajan toksik yang menyebar di udara. Jalan nafas yang paten harus dibuat dan status pernafaasan dikaji. Pernafasan buatan diperlukan jika korban tidak bernafas spontan.
• Ingesti
Dilusi dengan susu dan air dilakukan pada menelan iritan atau kaustik. Pada orang dewasa dapat didilusi dengan satu gelas susu atau air, sedangkan pada anak-anak dapat diberikan 2 sampai 8 ons cairan, berdasarkan pada ukurannya.
Penatalaksaanaan Tingkat Lanjut
Langkah ini mengacu pada modalitas tindakan yang khusus, yang dapat mencakup langkah-langkah pencegahan lebih lanjut terhadap absorpsi, peningkatan eliminasi, pemantauan pasien, pemberian antidotum, dan perawatan simtomatik dan suportif. Cara ini meliputi:
• Emetik
Merupakan tindakan mengeluarkan kembali obat atau toksik yang tertelan dengan merangsang muntah. Pada umumnya tindakan ini dilakukan dalam 4 jam setelah kejadian, lebih cepat lebih baik. Muntah yang ditimbulkan tidak akan mengosongkan lambung seluruhnya, hanya sekitar 30 % isi lambung yang dapat dikeluarkan. Biasanya emetik yang digunakan adalah sirup ipecac. Sirup ini harus diberikan sesegera mungkin setelah ingesti (dalam 30 menit) dan diikuti dengan air dan meningkatkan aktivitas fisik pasien. Jika dosis awal gagal untuk mendapatkan hasil dalam waktu 20 sampai 30 menit, dapat diulang satu kali dengan dosis sama. Apabila emesis sudah selesai, tunda makan minum selama satu sampai dua jam untuk menenangkan lambung.
Kontraindikasi untuk tindakan emesis:
1. Depresi status mental
2. Tidak ada reflek muntah
3. Kejang
4. Ingesti agen yang dapat menimbulkan serangan depresi pada SSP
5. Agen kaustik yang tertelan telah dicerna
6. Setelah menelan substansi korosif
7. Setelah minum turunan petrolium
• Lavage lambung
Merupakan metode alternatif yang umum untuk pengosongan lambung, dimana cairan seperti normal saline dimasukkan ke dalam lambung melalui orogastrik atau nasogastrik dengan diameter besar dan kemudian dibuang dalam upaya untuk membuang bagian agen yang mengandung toksik.
Indikasi lavage lambung adalah:
1. Depresi status mental
2. Tidak ada reflek muntah
3. Gagal dengan terapi emesis
4. Pasien dalam keadaan sadar
Kontraindikasi lavage lambung:
1. Ingesti kaustik
2. Kejang yang tidak terkontrol
Untuk tindakan ini pasien dibaringkan dalam posisi dekubitus lateral sebelah kiri, dengan bagian kepala lebih rendah daripada kaki. Masukkan cairan 150 sampai 200 ml air atau saline (pada anak 50 sampai 100 ml) ke dalam lambung. Prosedur ini diulang sampai keluar cairan yang jernih atau sedikitnya menggunakan 2 liter air. Intubasi nasotrakeal atau endotrakeal diperlukan untuk melindungi jalan udara. Prosedur ini dilakukan 4 jam setelah obat ditelan.
Komplikasi lavage lambung:
1. Perforasi esofagus
2. Aspirasi pulmonal
3. Ketidakseimbangan elektrolit
4. Tensi pneumothorak
5. Hipotermia pada anak-anak bila menggunakan lavage yang dingin

• Adsorben
Adsorben merupakan bahan padat yang mempunyai kemampuan menarik dan menahan pada permukaannya bahan lainnya. Pasien diberi karbon aktif yang berupa bubur ditambah air, yang komposisinya terdiri atas karbon aktif 1 bagian dengan 8 bagian air (1:8) sampai 1:10. karena ikatan karbon-toksik lemah, maka harus segera dikeluarkan dari saluran cerna dengan menggunakan laksatif. Penggunaan adsorben harus hati-hati pada pasien dengan bising usus rendah, dan menjadi kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan usus.
• Katartik
Pemberian agen katartik dapat mempercepat eliminasi toksin dari saluran cerna dan mengurangi absorpsi. Katartik diberikan per oral atau dengan selang nasogastrik pada semua kasus keracunan di mana arang obat dianjurkan, kecuali pada anak kecil. Pada anak-anak kurang dari 1 tahun, katartik tidak diberikan untuk menghindari dehidrasi.
• Peningkatan eliminasi
Setelah prosedur diagnostik dan dekontaminasi serta pemberian antidot dilakukan dengan tepat, penting untuk mempertimbangkan langkah peningkatan eliminasi, seperti diuresis paksa, dialisis atau tranfusi tukar.
Diuresis paksa adalah tindakan memberi caairan parenteral dalam jumlah besar (0,5-1,5 liter sejam) untuk mempercepat ekskresi obat melalui ginjal. Syarat diuresis paksa adalah sebagai berikut:

1. Keracunan harus berat
2. Obat harus larut dalam air
3. Berat molekul obat kecil
4. Obat tidak diikat oleh protein maupun lemak
5. Obat tidak dikumulasi dalam suatu rongga atau organ tubuh
6. Obat tidak diekskresi lebih cepat melalui jalan lain, misal paru atau usus.
Tindakan ini mudah dilakukan tetapi mengandung bahaya yang tidak boleh diabaikan karena itu hanya dilakukan bila ada indikasi yang baik dan memenuhi syarat-syaratnya. Kontraindikasi untuk diuresis paksa adalah:
1. Gagal jantung
2. Insufisiensi ginjal
3. Syok
Semula diuresis paksa sangat populer, tetapi karena tidak terbukti manfaatnya, cara ini jarang digunakan, karena bisa mengakibatkan ketidaknormalan elektrolit.
Hemodialisis merupakan proses perubahan komposisi terlarut darah dengan difusi menembus dinding semipermiabel antara darah dan larutan garam. Metode ini digunakan bila metode konservatif tidak berhasil. Sedangkan hemoperfusi adalah metode pembuangan obat dan toksin dari darah, dengan memompakan darah melewati bahan adsorben dan kemudian disirkulasikan kembali ke dalam tubuh pasien. Antikoagulasi seperti heparin diperlukan untuk mencegah pembekuan darah. Tranfusi tukar merupakan pembuangan bagian darah pasien dan menggantikan dengan darah lengkap yang segar, cara terakhir ini sangat jarang dilakukan.
Pemantauan Pasien Keracunan
Pasien yang keracunan akan memerlukan pemantauan kontinue selama berjam-jam atau berhari-hari setelah pemajanan. Peralatan diagnostik serta tanda-tanda gejala akan memberikan informasi tentang perkembangan pasien dan arah pengobatan serta penatalaksanaan keperawatan. Poemantauan toksikologi meliputi:
1. Elektrokardiografi
EKG dapat memberikan bukti-bukti dari obat-obat yang menyebabkan penundaan disritmia atau konduksi.
2. Radiologi
Banyak substansi adalah radioopak, dan cara ini juga untuk menunjukkan adanya aspirasi dan edema pulmonal.
3. Analisa Gas Darah, elektrolit dan pemeriksaan laboratorium lain
Keracunan akut dapat mengakibatkan ketidakseimbangan kadar elektrolit, termasuk natrium, kalium, klorida, magnesium dan kalsium. Tanda-tanda oksigenasi yang tidak adequat juga sering muncul, seperti sianosis, takikardia, hipoventilasi, dan perubahan status mental.
4. Tes fungsi ginjal
Beberapa toksik mempunyai efek nefrotoksik secara lengsung.

5. Skrin toksikologi
Cara ini membantu dalam mendiagnosis pasien yang keracunan. Skrin negatif tidak berarti bahwa pasien tidak keracunan, tapi mungkin racun yang ingin dilihat tidak ada. Adalah penting untuk mengetahui toksin apa saja yang bisa diskrin secara rutin di dalam laboratorium, sehingga pemeriksaannya bisa efektif.
F. BEBERAPA CONTOH ANTIDOTUM
Antidotum merupakan ramuan/obat untuk melawan atau menawarkan kerja racun. Berikut ini adalah contoh beberapa antidotum yang ada:
TOKSIN ANTIDOTUM
Opiat
Metanol, etilen glikol
Antikolinergik
Organofosfat/insektisida karbamat
Beta bloker
Digitalis, glikosida
Benzodiazepin
Karbon monoksida
Nitrit
Asetaminofen
Cianida


Penghambat saluran kalsium Nalokson
Etanol
Fisostigmin
Atropin, piridoksin
Glukagon
Digoksin-fragmen antibodi tertentu
Flumazenil
Oksigen
Metilen biru
N-asetilsistein
Amil nitrit
Natrium nitrit
Natrium tiosulfat
Kalsium glukonat


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun, meskipun hanya sedikit yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh diri dengan mengkonsumsi obat secara overdosis oleh remaja maupun orang dewasa. Kematian pada anak akibat mengkonsumsi obat atau produk rumah tangga yang toksik telah berkurang secara nyata dalam 20 tahun terakhir, sebagai hasil dari kemasan yang aman dan pendidikan yang efektif untuk pencegahan keracunan.
Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis yang cepat dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik dan hati-hati pada korban yang keracunan menjadi titik penting dalam menangani korban.

Bahan Kimia Beracun

BAB. I
PENDAHULUAN

Meskipun penyelidikan epidemiologis memberi bukti yang paling dapat dipercaya bahwa suatu bahan kimia tertentu rnempunyai efek merugikan kesehatan pada suatu populasi, narnun penyelidikan semacarn ini memiliki beberapa kelemahan. Hal ini dikarenakan selain biaya yang rnahal, juga membutuhkan jumlah pekerja yang terpapar dalam jumlah besar untuk rnemjamin kesahihan perhitungan-perhitungan statistik.

Pemaparan terhadap suatu penyebab penyakit yang potensial atau akibat dari perbedaan dalam paparan (misalnya terhadap bahan kimia) kemudian diperiksa dan diukur kemudian penduduk keseluruhan ditindak lanjuti untuk melihat bagaimana perkembangan penyakit atau akibat selanjutnya antara kelompok yang terpapar dan tidak terpapar.

Di samping itu, studi epidemiologis mungkin tidak dapat mendeteksi kasus-kasus mengenai peranan dari kasus satu bahan kimia tertentu ketika para pekerja terpapar terhadap campuran bahan kimia. Oleh karena informasi yang diberikan dalam studi epidemiologis sangat terbatas, maka tindakan pencegahan hendaknya dianjurkan berdasarkan atas studi binatang. Teori dengan menggunakan uji binatang adalah bahwa manusia dan binatang seperti mencit, tikus atau anjing memiliki biokimia dasar dan proses-proses hayati yang sama. Uji binatang memungkinkan untuk menguji toksisitas suatu bahan kimia sebelum manusia terpapar. Setiap bahan kimia mempunyai efek dan target sasaran organ tubuh yang akan rusak baik secara lokal, sistemik, akut, dapat pulih atau tidak dapat pulih.


BAB. II
PEMBAHASAN
A. Bahan Kimia.
Bahan kimia dapat meracuni sel-sel tubuh atau mempengaruhi organ tertentu yang mungkin berkaitan dengan sifat bahan kimia atau berhubungan dengan tempat bahan kimia memasuki tubuh atau disebut juga organ sasaran. Efek racun bahan kimia atas organ-organ tertentu dan sistem tubuh ialah :

1. Paru-paru dan sistem pernafasan
Efek jangka panjang terutama disebabkan iritasi (menyebabkan bronkhitis atau pneumonitis) Dalam luka bakar, bahan kimia dalam paru-paru yang dapat menyebabkan udema pulmoner (paru-paru berisi air), dan dapat berakibat fatal. Sebagian bahan kimia dapat mensensitisasi atau menimbulkan reaksi alergik dalam saluran nafas yang selanjutnya dapat menimbulkan bunyi sewaktu menarik nafas, dan nafas pendek. Kondisi jangka panjang (kronis) akan terjadi penimbunan debu bahan kimia pada jaringan paru-paru sehingga akan terjadi fibrosis atau pneumokoniosis.

2. Hati
Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hipotoksik. Kebanyakan bahan kimia menggalami metabolisme dalam hati dan oleh karenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel hati. Efek bahan kimia jangka pendek terhadap hati dapat menyebabkan inflamasi sel-sel (hepatitis kimia), nekrosis (kematian sel), dan penyakit kuning. Sedangkan efek jangka panjang berupa sirosis hati dari kanker hati.

3. Ginial dan saluran kencing
Bahan kimia yang dapat merusak ginjal disebut nefrotoksin. Efek bahan kimia terhadap ginjal meliputi gagal ginjal sekonyong-konyong (gagal ginjal akut), gagal ginjal kronik dan kanker ginjal atau kanker kandung kemih.

4. Sistem syaraf
Bahan kimia yang dapat menyerang syaraf disebut neurotoksin. Pemaparan terhadap bahan kimia tertentu dapat memperlambat fungsi otak. Gejala-gejala yang diperoleh adalah mengantuk dari hilangnya kewaspadaan yang akhirnya diikuti oleh hilangnya kesadaran karena bahan kimia tersebut menekan sistem syaraf pusat. Bahan kimia yang dapat meracuni sistem enzim yang mennuju ke syaraf adalah pestisida.
Akibat dari efek toksik pestisida ini dapat menimbulkan kejang otot dan paralisis (lurnpuh). Di samping itu ada bahan kirnia lain yang dapat secara perlahan meracuni syaraf yang menuju tangan dan kaki serta mengakibatkan mati rasa dan kelelahan.

5. Darah dan sumsum tulang
Sejumlah bahan kimia seperti arsin, benzen dapat merusak sel-sel darah merah yang menyebabkan anemia hemolitik.
Bahan kimia lain dapat merusak surnsum tulang dan organ lain tempat pembuatan sel-sel darah atau dapat menimbulkan kanker darah.

6. Jantung dan pembuluh darah (sistem kardiovaskuler)
Sejumlah pelarut seperti trikloroetilena dan gas yang dapat menyebabkan gangguan fatal terhadap ritme jantung. Bahan kimia lain seperti karbon disulfida dapat menyebabkan peningkatan penyakit pembuluh darah yang dapat menimbulkan serangan jantung.

7. Kulit
Banyak bahan kimia bersifat iritan yang dapat menyebabkan dermatitis atau dapat menyebabkan sensitisasi kulit dan alergi.
Bahan kimia lain dapat menimbulkan jerawat, hilangnya pigmen (vitiligo), mengakibatkan kepekaan terhadap sinar matahari atau kanker kulit.

 Sistem reproduksi
Banyak bahan kimia bersifat teratogenik dan mutagenik terhadap sel kuman dalam percobaan. Disamping itu ada beberapa bahan kimia yang secara langsung dapat mempengaruhi ovarium dan testis yang mengakibatkan gangguan menstruasi dan fungsi seksual.
 Sistem yang lain
Bahan kimia dapat pula menyerang sistem kekebalan, tulang, otot dan kelenjar tertentu seperti kelenjar tiroid.

B. Cara menentukan toksisitas bahan kimia
Dalam pengertian umum, toksisitas suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu organisme hidup. Pengetahuan mengenai toksisitas suatu bahan kimia dikumpulkan dengan mempelajari efek-efek dari:
• Pemaparan bahan kimia terhadap binatang percobaan.
• Pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah
• seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium.
• Pemaparan bahan kimia terhadap manusia.
 Studi terhadap binatang
Uji toksisitas akut (LD50dan LC50)
Uji standar untuk tosisitas akut (jangka pendek) adalah memberi binatang bahan kimia dengan jumlah yang semakin meningkat dalam kurun waktu 14 hari hingga binatang percobaan tersebut mati. Cara lain adalah dengan menaruh bahan kimia pada kulit binatang hingga suatu reaksi dapat teramati.

Jumlah bahan kimia yang menyebabkan kematian 50% binatang percobaan dikenal sebagai dosis mematikan bagi 50% binatang percobaan atau LD50. Dalarn percobaan dengan LD50 ini dapat dilakukan secara oral atau dermal tergantung pada metoda pemaparannya.

Dosis mematikan untuk inhalasi bahan kimia dalam bentuk gas atau aerosol juga dapat diuji. Dalarn hal ini konsentrasi gas atau tiap yang membunuh separuh dari binatang dimasukkan konsentrasi mematikan untuk 50% binatang percobaan atau disebut LC50. LD50 dan LC50 digunakan secara luas sebagai indeks toksisitas. Kriteria di bawah ini sering dipakai untuk maksud klasifikasi efek toksik akut pada binatang.

Selain itu dengan skala Hodge dan Sterner dapat mengklasifikasikan toksisitas akut bahan kimia terhadap manusia. Dalam menilai risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh suatu bahan kimia tidak mungkin hanya berdasarkan atas LD50 dan LC50. Karena LD50 dan LC50 suatu bahan kimia tidak menyajikan informasi tentang mekanisme atau type toksisitas.

Suatu bahan kimia atau kemungkinan-kemungkinan efek jangka panjang atau kronik. Jadi LD50 dan LC50 hanya merupakan indeks kasar toksisitas. Dalam penentuan dosis tetap, berbagai lembaga internasional saat ini sedang memodifikasi atau mengganti uji LD50 dan LC 50 dengan metode yang lebih sederhana, misalnya tatacara dosis tetap yang menggunakan lebih sedikit binatang percobaan. Tatacara dosis tetap hanya dengan menggunakan jumlah binatang percobaan yang lebih sedikit dan dalam analisis penilaian toksisitas bahan kimia tanpa harus membiarkan binatang mati pada akhir percobaan.

Dasar pemikirannya adalah menguji bagaimana suatu set dosis bahan kimia mempengaruhi sekelompok binatang. Dosis didasarkan alas apa yang tidak diketahui mengenai sifat fisika dan kimia bahan yang sedang dinilai.
• Uji iritasi dan korosi
Uji iritasi dan korosi memberikan sejumlah informasi khas.
Bahan kimia yang sedang diuji ditaruh di atas kulit binatang percobaan dan kemudian diperiksa selama beberapa hari untuk melihat tanda-tanda seperti ruam kulit atau reaksi panas. Pengujian dapat dilakukan pada mata binatang (dikenal dengan Draize).

• Uji toksisitas sub kronik
Secara normal uji toksisitas subkronik memerlukan studi inhalasi atau penelanan selama 90 hari untuk mengetahui efek-efek spesifik dan nyata dari bahan kimia pada organ dan biokimia dari binatang. Pengujian toksisitas sebaiknya dilakukan secara berulang-ulang dan diarahkan terutama untuk mendeteksi efek toksik yang secara jelas bukan akibat dari pemaparan kulit.

Pengujian secara kasar hanya berdasarkan pengamatan abnormalitas secara pengamatan kasar dengan mata telanjang, tetapi untuk pengujian yang lebih mendalam perlu pengambilan irisan suatu jaringan dan diperiksa di bawah mikroskop untuk mengetahui terjadi abnormalitas sel-sel dalam organ.

Pada umumnya dalam pengujian perlu pengarnbilan cuplikan darah atau urin secara teratur dari binatang percobaan untuk pemeriksaan dan analisis. Pengujian-pengujian ini merupakan dasar bagi dosis yang digunakan dalam uji hayati kronik.

• Uji hayati kronik (seumur hidup)
Maksud dari uji hayati kronik (seumur hidup), untuk menentukan apakah bahan kimia dapat menimbulkan setiap efek kesehatan yang mungkin memerlukan waktu yang lama untuk menimbulkan suatu efek seperti kanker, atau paparan jangka panjang terhadap bahan kimia menimbulkan efek kesehatan pada organ seperti ginjal.

Percobaan ini dilakukan dengan memberikan dosis tertentu bahan kimia terhadap hewan percobaan melalui penelanan atau inhalasi terhadap bahan kimia yang sedang diuji selama masa hidupnya. Untuk mencit dapat memakan waktu hingga 2 tahun sedangkan untuk tikus sedikit lebih singkat. Dalam suatu uji khusus, 50 ekor rnencit atau tikus dari tiap jenis kelamin diberi perlakuan paparan bahan kimia yang sedang diuji dengan dosis tinggi tetapi tidak mematikan.
Binatang percobaan ini dibandingkan dengan binatang sebagai kontrol dalam jumlah yang sama dengan jumlah binatang percobaan dalam waktu yang sama. Binatang kontrol ini serupa dalam segala hal dengan binata.ng percobaan, perbedaannya bahwa binatang kontrol tersebut tidak diberi perlakuan pemaparan bahan kimia. Suatu percobaan yang baik yaitu dengan memberikan perlakuan pemaparan untuk kedua jenis kelamin terhadap bahan kimia dengan dosis yang berbeda. Dalam suatu percobaan efek bahan kimia dapat menggunakan binatang percobaan hingga 500 ekor.

• Uji Mutagenitas jangka pendek
Bakteri dan sel binatang yang tumbuh dalam tabung uji dari koloni serangga buah-buahan atau serangga lain cocok untuk penyelidikan yang cepat dan rnurah dalarn usaha mengetahui bahan kirnia yang potensial mempunyai efek karsinogenik dan mutagenik. Uji yang paling baik dan paling banyak digunakan adalah uji rnutagenitas Salmonella (umumnya dikenal sebagai uji Ames). Uji ini membutuhkan bakteri yang tumbuh secara khusus di laboratorium dan memaparkannya terhadap bahan kimia yang diuji. Uji tersebut untuk mendeteksi mutasi dalam bakteri yaitu untuk uji efek mutagenik.

Terdapat sejumlah uji mutagenik jangka pendek yang lain atau pengujian mutagenitas (mutagenity assay). Uji ini seringkali dirujuk sebagai uji in vitro. Jadi uji ini dibedakan dengan uji in vivo yang menggunakan jaringan hidup seperti binatang dan manusia. Banyak bahan kimia dapat menyebabkan kanker pada binatang dan mungkin menimbulkan kanker pada manusia bersifat mutagenik.

• Uji yang herhubungan dengan reproduksi
Uji binatang percobaan untuk memeriksa efek yang merugikan dari suatu bahan kimia pada reproduksi memerlukan perlakuan pemaparan terhadap seekor atau kedua induk terhadap bahan kimia yang sedang diuji sebelum kawin, kemudian diamati efek-efeknya pada setiap keturunannya. Kadang-kadang perlakuan paparannya diberikan pada seekor binatang yang sedang hamil. Efek reproduksi dapat diklasifikasikan dengan hasil-hasil temuan seperti apakah keturunannya lebih sedikit jumlahnya bobot tubuh yang lebih ringan atau dalam beberapa hal mengalami kerusakan. Uji rnultigenerasi kadang-kadang diperlukan untuk mendeteksi efek yang dapat diwariskan bagi generasi berikutnya.



• Uji tingkah laku
Efek bahan kimia terhadap percobaan tingkah laku binatang percobaan. Misalnya pemberian paparan bahan kimia terhadap hewan percobaan kemudian hewan percobaan dimasukkan dalam kotak maze (kotak dengan jalan ruwet) kemudian diamati tingkah laku hewan percobaan tersebut apakah terjadi perubahan tingkah laku dengan adanya efek bahan kimia terhadap otak dan saraf. Namun kerapkali percobaan ini menunjukkan efek tidak nyata.

 Studi epidemiologis
Studi epidemiologis menyelidiki kesehatan sekelompok orang atau menetapkan apakah mereka terpengaruh oleh paparan bahan kimia di tempat kerja atau dalam lingkungan umum. Dalam studi ini perlu perbandingan penyakit yang timbul akibat bahan kimia pada sekelompok orang yang terpapar dengan orang-orang yang tidak terpapar dalam kurun waktu tertentu.

Dua metode penyelidikan yang paling umum dalam epidemiologi adalah studi kontrol kasus dan studi kohor. Studi kontrol kasus relatif lebih sederhana pelaksanaannya dan penggunaannya sedikit meningkat untuk menyelidiki penyebab penyakit terutama bagi penyakit yang jarang terjadi. Pada dasarnya metode ini membandingkan orang yang jatuh sakit atau akibat lainnya dengan suatu kelompok kontrol yang sesuai, yang tidak dipengaruhi oleh penyakit tersebut atau akibatnya dalarn suatu usaha untuk mengidentifikasi penyebab. Studi kohor juga disebut sebagai studi lanjutan atau studi insiden dengan melekat pada sekelompok penduduk (suatu kohor) yang digolongkan dalam sub kelompok.


BAB III
P E N U T U P
KESIMPULAN

Dalam penentuan toksisitas suatu bahan kimia yang terbaik adalah dengan melakukan studi dengan menggunakan binatang percobaan karena uji binatang memungkinkan untuk menguji toksisitas suatu bahan kimia sebelum manusia terpapat.